Friday 4 November 2011

Putus sekolah (drop out)

Berapa banyak anak yang putus sekolah hanya dikarenakan biaya? Begitu menyedihkan bukan? Hak yang seharusnya mereka dapatkan kini hanya menjadi impian belaka, hanya dikarenakan faktor biaya. Menurut Merry Hotma (Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta), terdapat sekitar 50 ribu siswa rawan putus sekolah, di antaranya di Jakarta Barat ada sekitar 13.700 siswa. “Jadi ini memerlukan penanganan serius. Jangan sampai mereka benar-benar putus sekolah,” tandasnya.[1] Penanganan seperti apa dan bagaimana? Sepertinya itu yang harus dipertanyakan kepada pemerintah.

Menurut UUD 45 BAB XA tentang Hak Asasi Manusia pasal 28C ayat 1:
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Berdasarkan pasal di atas, hak memperoleh pendidikan tertuju pada semua orang tidak terkecuali masyarakat miskin. Kenyataan yang tampak di negeri ini “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, KECUALI MASYARAKAT MISKIN!”. Kalau seperti ini jadinya, wajar kalau negara Indonesia tertinggal dengan Negara lainnya.

Seperti yang kita ketahui, dahulu negara tetangga kita (Malaysia) berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Kenyataannya sekarang malah berbalik, justru orang Indonesia yang berbondong-bondong datang ke Malaysia untuk menuntut ilmu dan bahkan mengais rezeki di sana. Apa yang salah dengan Indonesia yang sekarang? Gaji pengajar sudah UMR (Upah Minimum Rata-rata), tetapi itu hanya diberlakukan untuk Pegawai Negeri Sipil. Bagaimana dengan upah dari tenaga pengajar honorer dan tenaga pengajar relawan yang hanya menerima imbalan di bawah standar?

Lima negara dengan gaji guru terbesar merupakan negara maju yang cukup produktif dalam bidang apapun, diantaranya Amerika, Australia, Kanada, Inggris, dan Cina. Di Australia, megajar adalah profesi yang sangat terhormat yang dianggap penting bagi masyarakat. Gaji awal seorang guru di Australia adalah sekitar $ 41.109.00/thn atau Rp. 369.000.000/thn.[2]

Berdasarkan pernyataan di atas, gaji tersebut hanya awal (upah minimal) dari seorang guru, dengan bertahun-tahun mengajar, seorang guru secara bertahap akan mendapatkan penghasilan lebih. Hidup guru di lima negara tersebut adalah standar layaknya seperti para pengusaha bahkan pejabat.

Apabila kita bandingkan dengan keadaan di Indonesia, gaji guru hanya 10 persen bahkan kurang dari gaji para pejabat negara atau swasta. Begitu nyamannya bukan apabila seorang guru ketika mengajar tidak lagi memikirkan ekonomi keluarga, kelonjakan harga pangan, bagaiman keluarganya makan nanti, dan masalah lainnya. Guru akan mengajar penuh konsentrasi, fokus, ikhlas, dan muridnya pun dapat menerima pelajaran dengan mudah. Kalau guru mengajar dengan membawa persoalan keluarga ke dalam kelas, murid-muridpun tidak dapat belajar dengan serius dan penuh kosentrasi.

Kenyataan yang terjadi pada dunia pendidikan, guru melakukan berbagai cara untuk menambah penghasilannya. Dapat dengan menjual alat tulis, buku pelajaran, mengeleskan siswa, dan kegiatan lainnya, dengan alih-alih mendapatkan nilai yang lebih baik. Bagaimana dengan murid lain yang tidak beruntung dalam hal kondisi ekonomi yang tidak berkecukupan? Ini dapat menjadi pesenjangan sosial antarmurid.

Katanya pendidikan di SD Negeri dan SMP Negeri digratiskan, tetapi sampai saat ini murid masih dipungut biaya ini itu dengan alasan uang gedung, sumbangan suka rela, ulangan, dana sosial, dan segala macam biaya lainnya. Bagi murid yang memiliki ekonomi terbatas pasti akan terbebankan dengan adanya biaya tersebut, tetapi untuk murid yang memiliki ekonomi menengah ke atas, tidak masalah dengan adanya pungutan tersebut. Berikut pendapat dari salah seorang murid menengah ke bawah inisial AA:
“Di sekolah aku, bayaran sudah digratiskan, tetapi pungutan biaya lainnya hampir sejumlah dengan biaya SPP sekolah yang tidak digratiskan (swasta) bahkan bisa mencapi lebih dari itu. Kayak bayar atletik lari, renang, bayar ulangan remedial. Itu sangat memberatkan karna pungutan tersebut rutin dilakukan sebulan sekali, mirip bayaran SPP saja.” 

Berdasarkan pendapat murid tersebut dapat kita simpulkan, bisa saja hal tersebut yang membuat banyak anak putus sekolah. Anak yang tidak dapat mengikuti kegiatan dan membayar sumbangan atau iuran pungutan dari sekolah akan merasa terpojok dari teman-temannya yang lain, akibatnya anak tersebut merasa terkucilkan dari teman-temannya yang lain.

Ya, memang faktor ekonomilah yang memiliki andil terbesar dalam putusnya sekolah anak bangsa. Pemerintahpun sudah berbagai macam cara untuk menanggulangi putus sekolah anak bangsa. Sesuai dengan pendapat menteri pendidikan nasional Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh:
Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga ekonomi lemah, supaya tidak putus sekolah. Beasiswa miskin SD yang diberikan pemerintah kepada tiap siswa sebesar Rp360 ribu per tahun.[3]

Menurut saya, beasiswa yang datang hanya tertuju pada siswa yang memiliki nilai baik, dalam arti siswa tersebut pintar. Siswa yang tidak pintar, namun miskin tidak mendapatkan beasiswa. Jadi, beasiswa yang datang pada sekolah hanyalah sedikit anak yang mendapatkannya. Selebihnya siswa miskin yang tidak pintar mendapatkan bantuan dari yayasan atau panti sosial lainnya.

Berdasarkan pendapat menteri pendidikan nasional di atas juga dapat kita lihat juga dari besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah per tahun untuk pendidikan. Biaya sebanyak itu masih saja belum cukup untuk penanggulangan anak putus sekolah. Kemana dana tersebut? Siapa yang salah? Pemerintah atau pihak sekolah? Mungkinkan ada penyelewengan dana dari berbagai pihak, samapi dana tersebut masih saja tidak cukup untuk penanggulangan siswa putus sekolah. Dari pertanyaan tersebut, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan anggaran keluar dan masuk, agar persoalan ini dapat terpecahkan.

Selain faktor ekonomi, faktor lain yang menyebabkan anak putus sekolah adalah lingkungan masyarakat sekitar anak. Contohnya seperti anak pemulung yang biasanya tinggal di lingkungan perekonomian rendah di mana teman-teman sebaya anak tersebut memang putus sekolah, bahkan tidak pernah mencicipi bangku pendidikan. Jadi, faktor lingkungan juga berperan aktif sebagai penyebab anak putus sekolah.

Pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 9 tahun yaitu pendidikan SD dan SMP, apabila dilihat dari umur mereka yang wajb sekolah adalah 7 – 15 tahun. Kalau kita lihat di negara lain, generasi muda mereka diwajibkan belajar sampai Senior High School, yang kita kenal dengan SMA. Betapa menyedihkan bukan? Wajib belajar sampai SMP saja di Indonesia masih banyak yang putus sekolah, apalagi kalau diwajibkan belajar sampai SMA? Saya tidak tahu berapa banyaknya angka putus sekolah yang ada di negeri tercinta ini.

Pendidikan sampai 9 tahun merupakan hak yang yang sangat fundamental bagi anak. Hak yang wajib dipenuhi dengan kerjasama dari orang tua masyarakat dan pemerintah. Namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan khususnya menuntaskan wajib belajar 9 tahun, karena pada kenyataannya masih banyak generasi bangsa yang putus sekolah. Maka dari itu kerja sama antar orangtua dengan pengajar sangat berperan penting bagi proses pendidikan berlanjut. Selain itu dukungan serta peran pemerintah dan masyarakatpun di butuhkan. Dari pernyataan ‘WAJIB’ tersebut seharusnya pemerintah mengupayakan anak agar tidak putus sekolah, bagaimanapun caranya yang harus ditempuh. Pemerintah juga seharusnya memberikan ganjaran yang tepat bagi sekolah, jika anak yang putus sekolah berasal dari salah satu sekolah negeri yang memang segala kebutuhannya ditanggung pemerintah.

Dari paparan di atas, pemerintah harus lebih perhatian kepada masyarakat menengah kebawah agar angka putus sekolah tidak bertambah pada generasi muda berikutnya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan mutu pendidikan pada sekolah-sekolah khususnya SD dan SMP. Peran orangtua juga dibutuhkan untuk lebih memperhatikan buah hatinya agar faktor-faktor internal maupun eksternal yang menyebabkan anaknya putus sekolah tidak didapati. Sekolah juga jangan memungut biaya iuran dan sumbangan kepada orangtua siswa terlalu berat karena membebankan pembiayaan pendidikan kepada orang tua siswa tidaklah tepat, mereka yang tidak mampu lebih memilih untuk tidak meneruskan sekolah anaknya dan lebih diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari –hari.

[1] Harian Pos Kota, 08 Februari 2011, Jakarta
[2] http://www.papantulisku.com/2011/01/wow-besaran-gaji-guru-di-5-negara-besar.html/03-11- 2011/19.48
[3] http://diksia.com/2011/04/beasiswa-cegah-siswa-putus-sekolah/03-11-2011/20.48

Thursday 3 November 2011

LEMBAR PERSEMBAHAN



Editor by @QinMahdy Model by @PBSI_UINJkt
Ini hanya sekelumat perjalanan yang tak bermuara
Membawaku terbang melepasnya
Menjemputku di kehidupan baru
Begitu jauh
Sepi , semu, suram
Aku bahkan tak menatapnya
Bagaimana wujudnya, bentuknya, pikirannya
Sesak nafasku melihatnya
Terlihat kau, kau, kau…
Tersenyum, tertawa, bahkan menangis bahagia
Hadapi dengan senyuman
Jurang yang terjal
Menjadi taman persahabatan
Terima kasih kawan
Rinduku selalu bersamamu
Teruntuk:
Mahasiswa PBSI IX-B
UIN Syarif Hidayatullah