Suatu hari aku pandangi wajah ibuku yang sangat lusuh. Ya
tuhan? Apakah itu ibuku? Dia sudah tidak dapat menjagaku lagi, dia sudah tua,
jelek, untuk mencari makanpun sulit, aku akan pergi mencari ibu baru, ibu yang
lebih kuat dan mampu menjagaku. Sudah malam begini yang ku inginkan belum juga
ketemu (sambil mendangak ke atas). “Hay bulan, apakah kau mau menjadi ibuku?
Kamu terlihat cantik dan tinggi, sinarmu menyinari dunia, tanpamu dunia gelap,
kau begitu kuat! Mau ya bulan?” (berusaha merayu) “Tidak nak, aku tidaklah kuat
seperti penglihatanmu. Aku akan tiada jika waktu siang hari, mataharilah yang lebih kuat”. Mendengar jawaban bulan seperti itu, aku akan menunggu datangnya
siang. Untuk sejenak biarkan aku terlelap. Langit sudah mulai terang, matahari akan
segera muncul, nah itu dia! “Hay matahari, apa kau mau menjadi ibuku? Bulan itu
lemah, katanya dia masih kalah denganmu” (berharap banyak) “Bulan itu salah
nak, aku masih kalah dengan awan. Kalau aku terhalang awan, maka hujanpun
datang dan terikku sudah tidak dapat terlihat”. Ah sudah capek-capek menunggu
datangnya siang, ternyata matahari tidaklah cukup kuat. “Awan apa kau mau
menjadi ibuku? Matahari bisa kalah dengan penghalanganmu, kau bisa menggelapkan
dunia awan! Wah kau memang hebat!” (meyakinkan) “Aku tidak ada apa-apanya saat
angin menghantamku, dia yang kuasa atas aku. Angin dapat membawaku kamanapun,
menutupi atau tidaknya matahari. Angin lebih kuat dari pada aku” (ucap awan
mengeluh) Aku tidak mengerti, sesulit itukah mencari pengganti ibuku? Oh tuhan,
aku tidak mau ibu sepertinya, dia sudah tidak memiliki daya. “Hei angin, maukah
kau menjadi ibuku? Kata awan kau sangat kuat bisa menstir awan kemanapun” (ucap
mengeluh) “Aku memang dapat menstir semuanya, tapi ada satu yang tidak dapat ku
tiup yaitulah gunung. Dia begitu kokoh, sekuat apapun aku meniupnya dia takkan
hancur”. Baiklah aku akan pergi ke gunung untuk memohon padanya agar mau
menjadi ibuku, aku ingin memiliki ibu yang kuat. “Hei gunung apa kau mau
menjadi ibuku? Kau begitu kokoh sampai tidak dapat runtuh oleh siapapun. Aku
ingin memiliki ibu yang kuat sepertimu, dan aku rasa kau pantas mendapatkannya”
(mulai percaya diri) “Bukannya aku tidak mau nak, tapi ada kerbau yang lebih
kuat dibandinkan aku, dia bisa merusakku dengan tanduknya”. Gunung sepertinya
sudah terlalu kokoh tapi masih ada kerbau yang lebih kuat, aku harus
menyambangi kediaman kerbau. “Oi kerbau, kita satu species “hewan” apa kamu mau
menjadi ibuku? Tandukmu begitu kekar sampai gunung saja kalau denganmu”
(mengharap lebih dari seekor kerbau) “Aku tidaklah ada apa-apanya hanya dengan
seutas tali, dia bisa membawaku kemana-mana, bukankah kau ingin ibu yang kuat? Cobalah
minta sama tali!” (balas kerbau) “Tali apakah kau mau menjadi ibuku? Kau bisa
kalahkan kerbau, bagaimana mungkin kau bisa kalah dengan yang lainnya?”
(tanyaku penuh yakin) “Aku bisa diputuskan dengan tikus. Dia sering menggigitku
hingga terpecah belahlah badanku, aku bukanlah sesuatu yang kuat” (eluh tali) “Hay
tikus apakah kamu mau menjadi ibuku?” Entah kenapa tikus langsung menarikku
berlari sangat kencang dan jauh ketempat persemayamannya. “Shuttt jangan
berisik” (katanya sambil melirik ke luar) “Hay ada apa? Mengapa kita harus lari
terbirit-birit seperti ketakutan?” (tanyaku) “Di luar ada seekor kucing besar
yang bersiap melahapku. Kalau dia tahu ada aku di sini, tamatlah riwayatku”
(ucap sang tikus penuh ketakutan). Aku penasaran ingin melihat kucing besar
yang sangat ditakuti tikus ini, hingga aku dan tikus ini sampai lari
ngos-ngosan menghindari seekor kucing tersebut. Dan ternyata seekor kucing
tersebut adalah ibuku. Ibu yang selama ini aku hina, ibu yang aku anggap sudah
rapuh dan tak ada daya kekuatan melindungi anaknya yang masih kecil ini. Aku
hanya ingin memeluk erat sang ibu yang aku anggap buruk itu bahwa aku sangat
menyayanginya. Dialah sang super hero yang terbaik, perjalananku kembali
kepadanya, sang ibu tercinta.
#belajar dari seekor anak kucing
No comments:
Post a Comment