Pada Maret 1946, Amid bersama beberapa temannya, menjadi murid Kiai
Ngumar, mereka belajar silat dan ilmu agama. Pada suatu malam Amid dipanggil
Kiai Ngumar, dia dan temannya diminta untuk bersiap-siap berperang, karena ada
fatwa yang mewajibkan untuk melawan Belanda.
Sejak Kiai Ngumar meminta Kiram dan Amid untuk bersiap-siap tidak terjadi perkembangan apa-apa, hingga tiga bulan sesudahnya Kiai Ngumar kembali memanggil mereka berdua, mereka diminta untuk berangkat ke Purwokerto.
Sejak Kiai Ngumar meminta Kiram dan Amid untuk bersiap-siap tidak terjadi perkembangan apa-apa, hingga tiga bulan sesudahnya Kiai Ngumar kembali memanggil mereka berdua, mereka diminta untuk berangkat ke Purwokerto.
Sampai di Purwokerto mereka akan mendapat latihan ketentaraan,
tetapi kabar itu berubah dengan cepat. Mereka harus membantu Pasukan
Brotosewoyo yang sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah
Bumiayu. Mereka kecewa sesampainya di sana mereka hanya disuruh menebangi pohon
sebagai penghalang jalan bukan untuk berperang dan ternyata tentara Belanda
juga tidak melewati jalur tersebut malah berputar lewat Purbalingga, akhirnya
para pemuda yang diperbantukan itu diminta untuk pulang tetapi apabila mereka
dibutuhkan mereka harus siap untuk membantu tentara lagi.
Pada suatu hari Amid dan Kiram diminta lagi untuk membantu tentara.
Pagi-pagi mereka menuju jalan besar di sebelah selatan, keempat tentara
bersembunyi di balik rumpun pandan yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Tak
lama kemudian iring-iringan tentara Belanda datang, kemudian terjadi ledakan
hebat dan terjadi perang singkat dan banyak tentara Belanda yang tewas. Dengan
berani Kiram lari ke tengah jalan mengambil sebuah bedil yang tergeletak di
sisi mayat pemiliknya. Kemudian semuanya lari ke arah utara. Amid, Kiram, dan
keempat tentara sampai di rumah Kiai Ngumar. Dari pencegatan hari itu tentara
mendapat tambahan tiga senjata dan salah satunya masih dibawa Kiram walau salah
seorang tentara telah meminta Kiram untuk menyerahkan senjata tersebut. Atas
jaminan Kiai Ngumar kalau senjata itu akan digunakan untuk membantu para
tentara dan para tentara dapat menerima mereka sepakat untuk membentuk kelompok
perlawanan karena Jun, Jalal, dan Kang Suyud sudah setuju untuk ikut bergabung.
Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia
secara resmi. Hizbullah tidak memiliki musuh lagi, dari peristiwa ini muncul
masalah mereka harus meleburkan diri ke dalam tentara republik atau membubarkan
diri, atas anjuran Kiai Ngumar mereka pergi ke Kebumen untuk bergabung dengan
tentara republik, banyak kelompok lain yang melebur ke dalam tentara republic
mereka akan diangkut dengan kereta api menuju Purworejo untuk dilantik secara
resmi.
Di stasiun Kebumen ketika mereka bersiap-siap, tiba-tiba mereka
diserang dan mereka membalas menembak dan bertempur secara serempak tanpa
mengetahui siapa lawan maupun kawan. Kereta api benar-benar lumpuh dan
Hizbullah bingung siapa sebenarnya yang menyerang mereka dan yang pasti mereka
merasa dikhianati. Dalam kebersamaan rasa itu seluruh anggota Hizbullah yang
pro maupun kontra terhadap peleburan pasukan bersama-sama mengundurkan diri
menuju Somalangu.
Tentara Republik menganggap anak-anak Hizbullah sebagai
pemberontak. Amid, Kiram, Jun, Jalal dan Kang Suyud akhirnya bergabung dengan
Darul Islam mereka bergerilya melawan Tentara Republik. Kekuatan Darul Islam
semakin lama semakin melemah.
Akhir Juni 1962, seorang DI yang berpangkalan di wilayah Gunung
Slamet datang ke tempat persembunyian Amid dan Kiram, nama anggota DI tersebut
adalah Toyib. Ia membawa berita bahwa Kartosuwiryo, Klifah Darul Islam
tertangkap Pasukan Republik, Toyib juga membawa selebaran yang berisi seruan
agar para anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri dengan jaminan
pengampunan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Amid serta beberapa temannya terkejut mendengar berita itu, rasa
tidak percaya dan kebingungan melanda mereka, perdebatan mulai timbul di antara
mereka, tetapi mereka akhirnya memutuskan untuk mematuhi seruan tersebut. Malam
berikutnya mereka turun gunung menuju Porwokerto. Di Purwokerto mereka diterima
aparat keamanan, kemudian diangkut ke dalam sebuah barak penampungan. Selama
sebulan mereka mendapat indoktrinasi dan kegiatankegiatan yang lain. Amid,
Kiram dan Jun tidak begitu senang ketika mereka diperbolehkan pulang, rasa
canggung dan malu menghantui mereka.
Pada bulan pertama setelah Amid pulang kegiatan orang-orang komunis
semakin gencar, puncak kekacauan terjadi ketika tersiar kabar terjadi perebutan
kekuasaan di Jakarta, beberapa Jendral di bunuh, tersiar bahwa yang menjadi
dalang semua itu adalah orang-orang komunis. Pada suatu hari ada mobil militer
berhenti di depan rumah Kiai Ngumar mobil itu menjemput Amid, Kiram dan Jun
untuk memberi informasi mengenai pasukan komunis yang berbasis disekitar hutan
jati kepada komandan tentara mereka bergantian memberi keterangan tentang apa
yang mereka ketahui dan komandan memerintahkan mereka untuk menjadi petunjuk
jalan, tetapi Kiram mengusulkan supaya mereka diberi kesempatan untuk ikut
bertempur melawan pasukan komunis itu.
Tepat pukul satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan
markas, Amid, Kiram dan Jun ada bersama mereka. Pukul tiga pagi, truk berhenti
di hutan jati Cigobang, Kiram meminta izin kepada komandan tentara untuk
menjadi pendobrak pertahanan lawan, Amid dan Jun mengikuti. Kiram bergerak di
ujung pasukan, Amid beberapa kali menarik picu senjata namun tak lama kemudian
ia merasa pundak dan belikatnya panas, akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri.
Antara sadar dan tidak Amid mendengar suara orang-orang yang tak
dikenalnya, ia membuka mata pundak dan punggungnya berdenyut sakit bukan main,
Amid mendengar Kiai Ngumar, wajah Kiai itu berlahan-lahan muncul dalam layar
penglihatan Amid. Kiai Ngumar berucap ”Laa ilaaha illalah”. Amid tak kuasa dia
merasa mulutnya bergerak ingin meninggalkan wasiat untuk menjaga anak dan
istrinya tapi dia tak kuasa dan Amid akhirnya meninggal.
No comments:
Post a Comment