Sunday 28 August 2011

Hadiah Tak Terduga



photograph by +Mabrur Huda 
Sinta adalah siswi SMA yang tidak berkategori cantik maupun jelek. Sinta adalah siswi biasa-biasa saja di sekolahnya, tidak pintar namun tidak pula bodoh, tidak kaya, namun juga tidak miskin. Dia mempunyai dua sahabat, yakni Doni dan Ani. Mereka sudah berteman selama tiga tahun. Dari awal masuk SMA sampai menduduki bangku akhir sekolah mereka selalu bersama. Persahabatan mereka sangatlah erat, meski sering terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, tetapi itu semua tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mendukung satu sama lain. Pada pagi hari, tepatnya tanggal 11 Januari seperti biasa, ini sudah yang ketiga kalinya sinta mendapatkan bunga mawar di depan rumah ketika hari ulang tahunnya. “Bunga mawar yang ketiga kali, siapa sih yang penggemar rahasia ini?” ujar Sinta dengan percaya diri. Semenjak sinta masuk SMA, semenjak itu pula ketika hari ulang tahunnya ia selalu mendapatkan bunga mawar secara rutin.

Ting, tong, ting, tong ….. bel sekolah berbunyi, semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Sesampainya Sinta di kelas, Ani pun langsung meledek. “Cie, dapat mawar lagi nih dari penggemar rahasia?” sambil menyikut tangan sinta yang sedang sibuk memperhatikan bunga mawar tersebut. “iya nih, kayaknya penggemar itu tahu banget kalau gue suka bunga mawar” balas sinta sambil mencibir. “ngomong-ngomong PR Bahasa Indonesia sudah?” tanya Ani. “yang mana tuh?” tanya sinta panik. “karangan narasi di kertas polio Sin!” berusaha menjelaskan. “ya ampuuuun….gimana nih?” Sinta memelas. Doni yang memang sudah melihat tingkah sahabatnya langsung menghampiri seraya berkata “nih untuk elo, gue tahu elo pasti belum buat PR!”. “Ya ampun Don, elo baik banget sih, makasih ya?” ucap Sinta sambil tersenyum. Ya, sebenarnya hanya senyuman itu yang Doni tunggu-tunggu dan akhirnya datang juga. Sewaktu istirahat, Sinta, Ani dan juga Doni sedang berada di kantin. Mereka biasanya memesan mie ayam goring cap Pak De’. Ketika sedang asyik makan, tiba-tiba Doni batuk sambil menutup mulutnya dengan tangan. “Don, elo nggak apa-apa?” tanya Sinta. “Doni pun langsung bergegas menuju kamar mandi. “Doni tuh biasa ya, batuknya seperti orang yang kurang normal!” tutur Ani. “Hush, sembarangan deh kalau bicara” ucap Sinta. “Habis, suara batuknya tuh aneh, terus juga cuma sekali-sekali, kalau orang batuk kebanyakan, pasti nadanya nggak seperti Doni Sin, cuma ‘uhuk’, langsung ngibrit” terang Ani. Doni pun kembali deng wajah yang memerah. “elo sakit Don?” tanya Sinta. “biasa, cuma keselek makanan” jawab Doni santai. “coba periksa ke dokter Don, kayaknya elo sering banget keselek begitu” tambah Ani. “Ahh…ngapain, memangnya gue sakit?” tutur Doni enteng.
Hari kamis, sudah hari ke empat Doni tidak masuk sekolah tanpa keterangan dan tanpa kabar. Sinta dan Ani mencoba untuk datang ke rumah Doni. Sesampainya di rumah Doni, tidak ada seorang anggota keluarganya pun di rumah, baik ayah, ibu, maupun kakaknya. Ketika mereka masih berada di perkarangan rumah Doni, Andi dan Anto teman satu sekolah mereka lewat, sepertinya mereka mau pulang ke rumah mereka masing-masing. Andi dan Anto memang teman rumah Doni yang tinggal se-RT dengan Doni. “Andi, Anto! Baru pulang? Dari mana saja? Pasti habis nongkrong ya?” ejek Sinta. “Heheh, biasa anak cowok” elak Andi. “Elo ngapain di rumah Doni?” tanya Anto. “niatnya sih kita mau tahu keadaan Doni, soalnya dia sudah empat hari belakangan ini nggak masuk” jawab Sinta. “loh? Memangnya nggak ada yang beri tahu kalau Doni masuk rumah sakit?” ucap Andi heran. “Doni masuk rumah sakit?” tanya Ani histeris. “Rumah sakit mana? Kalian bisa antar kita nggak?” tutur Sinta memohon. “bisa kok…sudah tiga hari yang lalu Doni di bawa ke rumah sakit, katanya sih sakit kanker gitu, tapi gue nggak tahu pastinya” jelas Anto. “kanker? Kasihan Doni” ucap Sinta. Sesampainya di rumah sakit, mereka bertemu keluarga Doni yang sedang menangis. Mereka memberitahukan bahwa Doni sudah tiada. Sinta dan Ani pun langsung bercucuran air mata. Mereka tidak menyangka sahabatnya akan pergi meninggalkannya begitu cepat. “Sabar ya tante, om, kak, kita tahu kalau semua ini sangat berat untuk kalian, kami ikut berduka cita” ucap Ani kepada keluarganya. “Doni itu sahabat yang paling baik untuk aku kak, aku nggak nyangka kalau Doni mengidap kanker” tutur Sinta meringis. “Doni memang tidak memberitahukan penyakitnya kepada teman-temannya karena dia tidak ingin di kasihani” tutur kakak Doni. “tapi aku sahabatnya kak” jawab Sinta. “kamu bukan sahabatnya, melainkan orang yang sangat dicintainya” balas kakak Doni. “maka dari itu Doni tidak ingin penyakitnya diketahui teman-temannya, apalagi kamu, karena Doni tidak ingin membuatmu cemas” sambungnya. “Doni, cinta sama aku kak?” tanya Sinta terkejut. “ya, kamulah orang yang sangat ia cintai” tegas kakak Doni. “oh ya Sin, Doni titip surat ini untukmu” haru kakak Doni sambil memberikan surat kepada Sinta.
Hai Sin, mungkin saat kau baca surai ini aku sudah berada jauh dari kamu. Akulah penggemar rahasiamu Sin. Aku terlalu lemah untuk mengakui bahwa aku cinta kamu. Akulah yang selama ini menaruh bunga di depan pintu rumahmu saat ulang tahunmu. Akulah yang selama ini mengerjakan dua kali tugas-tugas yang diberikan guru, berjaga-jaga kalau kamu tidak mengerjakannya. Akulah yang selalu mengikutimu pulang sampai rumah dan berjaga-jaga jika sesuatu akan menimpamu. Akulah yang selalu memperhatikanmu dari belakang punggungmu dan berharap kamu segera menengok dan memberi senyuman itu. Ya, senyuman yang selalu aku tunggu saat-saat melihatmu. Jaga dirimu baik-baik Sin. Doni selalu cinta Sinta.
photograph by +Mabrur Huda 
Jumat, 11 Januari bertepatan dengan ulang tahun Sinta. “Pagi yang cerah, mudah-mudahan hari ini tetap cerah” ucap Sinta ketika bangun dari tidur dan bergegas mandi untuk berangkat kuliah. “Ma, aku mau berangkat” teriak Sinta. “ya sayang sebentar” ucap mama Sinta dari kejauhan. “selamat ulang tahun anak mama yang paling cantik, semoga impianmu jadi kenyataan” tambah Mama Sinta ambil mencium dahi anaknya. “terima kasih juga untuk mamaku yang paling gombal! Ya jelas aku paling cantik, orang aku anak perempuan satu-satunya dikeluarga ini! Tutur Sinta sambil mencibir. “ya sudah aku berangkat” sambung Sinta sambil mencium tangan ibunya. Dengan berjalan penuh tergesa-gesa, ia pun membuka pintu rumahnya dan ternyata, ada bunga mawar hitam yang sengaja ditujukan untuknya. Ia pun mengambil bunga tersebut dan berkata: “Semoga kamu tengang di alammu Doni!”.

#sebuah narasi dari Parashma

Anak yang Kesepian


photograph by @hudaellieza
Di desa bojong kecamatan kenyot, ada seorang anak yang bernama Budi. Budi adalah buah hati dari pasangan Bapak Fahmi dan Ibu Rahmawati. Budi seorang pendatang, ia tidak memiliki sanak saudara di desa tersebut, karenanya Budi hanya tinggal bertiga dengan orangtuanya. Budi yang sekarang menginjak kelas empat SD sudah dapat membantu pekerjaan orangtuanya. Ya, itu semua Budi lakukan karena ia adalah anak semata wayang dari orangtuanya. Dia tidak manja seperti anak tunggal lainnya, karenanya ia menjadi andalan orangtuanya untuk melimpahkan tugas kepadanya. Tugas Budi sehari-hari cukup ringan, hanya menjaga rumah saat orangtuanya berbelanja ke pasar. Aktivitas itu terus menerus dilakukan Budi setiap harinya sambil menunggu orangtuanya pulang dari pasar. Pasar memang tempat keseharian dari orangtua Budi yang membuka usaha rumah makan di desa Bojong Kenyot. Bagi Budi, pasar adalah sumber penghasilan dimana orangtuanya mengais rejeki dari tempat itu. Tetapi keadaan itu berubah saat hati Budi merasa gelisah yang teramat sangat di Jumat pagi. Kegelisahan itu bermula saat Budi menunggu orangtuanya yang tak kunjung pulang dari pasar. Biasanya, orangtua Budi sudah tiba di rumah pukul enam pagi, selewat-lewatnya pukul tujuh pagi. Hati Budi tambah cemas  dan hawatir ketika ponsel bapak dan ibunya yang ternyata tidak aktif. Ternyata kecemasan, kehawatiran, serta kegelisahan Budi terjawablah sudah. Bapak dan ibunya telah tiada. Motor yang ditumpangi mereka tertabrak truk hingga menyebabkan mereka terpental dengan kejauhan kurang lebih 15 meter. Jasadnya remuk, bahkan sulit diidentifikasi kalau hanya melihat wajahnya saja.  Budi meraung-raung menjerit dan menyesali semua itu. Antara sadar dan tidak sadar dengan kenyataan yang menimpa keluarganya. Ia hanya dapat menangis dan terus menangis meratapi nasib yang menimpanya.
Sepeninggalan orangtuanya Budi masih saja menangis dan meratapi kepergian orangtuanya. Tetangga Budi mencoba selalu menghibur Budi setiap harinya dan berniat akan meneruskan sekolah Budi. Mereka kasihan jika Budi tidak melanjutkan sekolahnya. Selang dua minggu kematian orangtuanya, Budi pun sudah dapat mengikhlaskan kepergian mereka, karena semua itu sudah takdir yang menentukan. Malam itu, tepatnya hari kamis malam Jumat, hujan rintik-rintik tak kunjung reda. Tepatnya jam sepuluh malam, Budi masih disibukkan dengan tugas sekolah yang harus kunjung selesai hari itu juga. Makin malam, suasana malam semakin mencekam dengan udara yang begitu dingin karena hujan yang tak kunjung reda. Tugas Budi pun hampir selesai. Tetapi suara ketukan pintu mengacaukan kosentrasi Budi yang hampir menyelesaikan tugasnya. “tok…tok…tok…” (suara dari balik pintu). Budi sesegera mungkin berjalan menuju pintu dengan menapaki lantai yang berembun. Sambil berkata “ya sebentar!”. Sesampainya di depan pintu Budi langsung membuka pintu dengan perlahan, kreeekeeekkk (suara pintu), ternyata ada seorang bapak dan ibu dengan baju yang basah dan kumal. Budi pun langsung bertanya dengan nada gemetar “cari siapa ya?”. mereka menjawab “kami mencari anak kami!”. Budi membalas “anak bapak siapa namanya?”. Mereka pun menegaskan nada bicaranya “kami mencari anak kami!!!”. Budi berkata “iya saya tahu bapak dan ibu mencari anak ibu, tapi siapa namanya?”. “KAU!!!” Balas mereka.

#Sebuah Narasi dari Apriliant