Saturday 14 May 2011

MBAH DUKUN

Judul Cerpen        : Mbah Danu
Pengarang            : Nugroho Notosusanto
Sekilas mengenai cerpen “Mbah Danu”
  1. Sinopsis
Mbah Danu adalah tokoh utama dalam cerita. Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa mengalami tantangan ketika Mr. Saljo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Saljo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
            Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijitan itu. Ketika itu Mr. Saljo masuk ke kamar, dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijatan itu bisa merusak rahim mu.”
Sebagai akibat insiden itu Mbah Danu tak diijinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang.
            Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Saljo, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur sakit keras, ketika itu menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang. Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh memanggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau, sedangkan Mr. Saljo dengan penuh pertimbangan meminta Dokter Umar Chattab dating.
            “Malaria” diagnosa Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinie, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria.
Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Saljo memanggil Dokter Umar Chattab lagi.
Dokter Umar Chattab heran.
“kinienya sudah tuan berikan seperti yang saya tetapkan?” tanyanya.
“ya.” Jawab Nyonya Saljo mendahului suaminya. “saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
            Keadaan Mbok Rah Makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia meninggal.
“kita tidak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!” kata Nyonya Saljo kepada suaminya.
            Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 pagi orang-orang masuk ke kamar Jenazah dan mengangkatnya keluar. Nyonya Saljo yang mendampingi suaminya itu dalam hatinya kecewa terhadap suaminya. Suatu sosok muncul di ambang pintu. Mbah Danu Matanya membara. Mr. Saljo merasa teguknya dingin. Ia menghela nafas panjang dan melemparkan pandangan terakhir kepada bale-bale tempat semalam Jenazah berbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diancungkan kesudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Saljo dan Mbah Danu menengok. Dan mereka melihat pil kininemembukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.[1]
  1. Analisis
    1. Unsur Intrinsik
a. Tema
Tema adalah gagasan pokok pikiran yang digunakan pengarang untuk mengembangkan cerita.[2] Tema yang diangkat oleh pengarang dalam cerita Fiksi “Mbah Danu” adalah budaya. Nuansa budaya terlihat sekali dalam cerita ini. Kepercayaan pengobatan dukun telah membudaya pada masyarakat dalam cerita ini.
        Pengarang mencoba mengangkat tema demikian karena Pengarang mempunyai pandangan yang berbeda dengan budaya pada masyarakat dalam cerita ini. Masyarakat yang lebih percaya sesuatu yang mistik daripada sesuatu kenyataan, yaitu lebih percaya dengan ludah Mbah Danu dari pada obat Dokter. Dengan demikian diperlukan suatu media dalam penyampaian budaya masa kini, dengan karangan berbentuk fiksilah yang cocok sebagai media tersebut.
b. Latar/setting
Latar/Setting adalah tempat terjadinya peristiwa yang dikisahkan dalam cerita.[3] Latar pada cerita "Mbah Danu" adalah netral, yaitu di rumah Pak Jaksa, kamar tidur Mbok Rah, kamar tidur Nyonya Saljo, Kamar tidur Mbok Nah, serta keadaan sosial yang universal.
        Latar netral yaitu latar dalam sebuah karya fiksi yang mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakan dengan latar lain. Sifat yang ditunjukkan latar tersebut lebih merupakan sifat umum terhadap hal yang sejenis misalnya desa, kota, pasar, dan sebagainya yang dapat berlaku dimana saja, sehingga jika namanya dipindahkan, tidak mempengaruhi pemplotan dan penokohan.[4]
        Alasan Pengarang menyajikan cerita fiksi "Mbah Danu", tidak lain agar dapat dibaca oleh semua orang. Dengan kata lain, cerita tersebut dapat dinikmati oleh semua pembaca secara universal.
c. Alur/plot
Alur/plot adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa plot adalah hubungan antara kejadian yang satu dengan yang lainnya berdasarkan hukum sebab akibat (kausalitas).[5] Alur/plot dalam cerita fiksi "Mbah Danu", yaitu maju/progresif. Alur maju/progresif adalah pengungkapan cerita dari sudut peristiwa-peristiwa yang terjadi dari masa kini ke masa yang akan datang.[6] Untuk memahami alur cerita fiksi "Mbah Danu" akan dijelaskan lebih detailnya melalui skema berikut.











Motif Pendorong:                                           Tujuan:
(Mistik)                                                           (Pasien)


















                                    Objek:
                                    (Kesembuhan)

























                                    Tokoh Utama:
                                    (Mbah Danu)



Antagonis:                                                       Protagonis:
Mr. Saljo dan                                                 (Nyonya Saljo, Pak Jaksa,
Dokter Umar Chattab)                                            Bu Jaksa, dan para tetangga)

Mbah Danu adalah tokoh utama dalam cerita. Ia ingin mencapai tujuan yaitu kesembuhan bagi para pasiennya (orang sakit). Dalam proses mencapai kesembuhan, tentulah ada tokoh protagonis (pendukung) dan tokoh antagonis (penentang). Tokoh protagonis adalah Pak Jaksa, Bu Jaksa, Nyonya Saljo dan para tetangga, yang percaya dengan akan pengobatan mistik yang dibawa Mbah Danu. Mungkin karena itu sudah menjadi suatu tradisi dan kebiasaan yang sudah membudaya, bahwa Mbah Danu adalah dukun sakti yang mempunyai ilmu hitam yang dapat menyembuhkan penyakit orang-orang setempat akibat gangguan dari roh halus. Sedangkan Mr. Saljo (menantu Pak Jaksa) berfikir realities bahwa dokter yang dapat menyembuhkan orang sakit dengan ilmu yang dimilikinya, orang itu sakit akibat dari penyakit dan bukan karena roh halus dan hanya obat yang dapt menyembuhkan orang sakit dan bukan ludah Mbah Danu. Motif pendorong Mbah Danu mencapai kesehatan adalah mistik. Mistik itulah yang memudahkannya menolong orang sakit, karena menurutnya orang sakit itu didiami oleh roh-roh jahat.Tujuannya adalah pasien. Ia ingin pasiennya tetap percaya dengan hal mistik yang dibawanya untuk kesembuhan orang sakit. Dan tujuannya pun tidak tercapai, Mr. Saljo dan Dokter Umar Chattab dapat meyakinkan masyarakat bahwa factor yang melandasi suatu pemulihan hanya dengan obat.
                        d. Penokohan.
Penokohan adalah penciptaan citra tokoh dalam karya sastra.[7] Tokoh utama dalam cerita “Mbah Danu” ialah Mbah Danu. Ia adalah seorang Dukun yang percaya dengan hal-hal yang berbau mistik. Mbah Danu adalah seorang yang teguh pendirian dan egois. Tokoh protagonisnya adalah Pak Jaksa, Bu Jaksa, Nyonya Saljo dan para tetangga yang telah terbiasa dengan penyembuhan dengan Mbah Danu yang telah membudaya pada masyarakat dalam cerita itu. Tokoh Antagonisnya adalah Mr. Saljo (menantu Pak Jaksa) yang berpendidikan tinggi (seorang akademikus) yang tak percaya dengan tradisi masyarakat setempat, hanya percaya dengan sesuatu yang real dan bukan mistik. Dan Dokter Umar Chattab yang berpendidikan tinggi dan teguh pendirian. Mereka berpikiran secara realities pada zaman sekarang.
                        e. Sudut Pandang (point of view)
Sudut pandang adalah posisi pencerita dalam membawa kisahan, boleh jadi ia tokoh dalam ceritanya (pencerita akuan), boleh jadi pula berada di luarnya (pencerita diaan).[8]
Dalam cerita “Mbah Danu” menggunakan sudut pandang dia-an terbatas, karena Pengarang tidak menjelaskan secara detail tentang pemikiran dan perasaan tokoh dalam cerita tersebut, Pengarang hanya menjelaskan luarnya saja, tidak menjelaskan pikiran dan perasaan tokoh. Justru ini adalah kekurangan dalam cerita ini, pembaca tidak dapat langsung masuk dan berperan menjadi tokoh dalam cerita tersebut.
                        f. Genre
        Genre adalah jenis yang dihasilkan dari kesastraan atau kesenian yang mempunyai gaya, bentuk, atau isi tertentu.[9] Cerita “Mbah Danu” termasuk genre sastra fiksi budaya. Suasana budaya sangatlah jelas terasa pada isi cerita ini. Mengenai suatu tradisi yang umumnya bersifat mustahil dapat menjadi suatu kepercayaan dan tradisi yang telah membudaya pada masyarakat dalam cerita tersebut.
                        g. Amanat/pesan
        Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca/penonton/pendengar.[10] Dalam cerita “Mbah Danu” pengarang mengemukakan pesannya secara tidak langsung. Jadi, pembaca sendiri yang harus mencarinya (tersirat).
        Amanat yang dapat diambil setelah pembaca membaca cerita ini adalah janganlah percaya dengan Mbah Dukun, karena semua yang dibawanya hanya dengan mistik semata. Hal yang terjadi sekarang, manusia harus berfikir secara kenyataannya saja. Obat adalah penyembuh suatu penyakit dengan bantuan dokter sebagai sarananya.
    1. Unsur Ekstrinsik
Untuk menganalisik unsur ekstrinsik diperlukan pendekatan. Pendekatan-pendekatan ini dimaksudkan agar analisis bersifat objektif  dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendekatan yang digunakan disini adalah pendekatan sosiologis.
Faktor-faktor di luar teks termasuk dalam latar belakang sosial Pengarang dalam menciptakan karya sastra. Sedangkan hubungan teks sastra dengan masyarakat, karya itu adalah cerminan dari masyarakat pada waktu itu.
a.       Latar Belakang Pengarang
Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama cerpen. Tetapi sesungguhnya ia pertama-tama menulis sajak-sajak yang sebagian besar dari antaranya dimuat juga dalam majalah yang dipimpinnya, Kompas. Tidak merasa mendapat kepuasan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Kumpulan cerpennya yang pertama ialah Hudjan Kepagian (1958), memuat cerpen-cerpen tentang perjuangan kemerdekaan nasional yang dilakukan oleh para pemuda dan pelajar yang masih muda-muda usianya. Kumpulan ini kemudian disusul oleh Tiga Kota (1959) memuat cerpen-cerpen yang ditulis karena inspirasi dari tiga kota: Rembang, Yogyakarta dan Jakarta. Kumpulan cerpennya yang ketiga berjudul Rasa Sajange (1963) yang antara lain memuat cerpennya yang paling penting berjudul ‘jembatan’.
Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho Notosusanto lebih mencurahkan perhatiannya kepada penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel titular.
Diantara para pengarang semasanya, Nugroho Notosusanto dikenal sebagai penulis esai. Ketika para pengarang lain hanya menulis cerpen dan sajak, Nugroholah salah seorang diantara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyelami situasi zamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia adalah salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposion sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposion tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan prasaran tentang cerita pendek.[11]
b.      Hubungan Antara Teks Dengan Masyarakat
Hubungan teks sastra dan masyarakat berkaitan erat antar teks sastra dengan kenyataan. Di dalam karya sastra terdapat nilai budaya sebagai cerminan dari masyarakat.
Dalam cerita “Mbah Danu”, terlihat budaya zaman dahulu yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau mistik dan bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi pada sekarang ini. Yaitu, percaya dengan dukun, tabib, norsense, dan sebagainya, dalam kali ini Mbah Danu. Memasuki zaman yang telah modern, seseorang yang berpendidikan tinggi memasuki wilayah di mana masyarakatnya masih mempercayai hal-hal yang berbau mistik. Dia mulai merubah pola piker masyarakat setempat dengan pola pikirnya, awalnya masyarakat tidak setuju dan menolaknya. Masyarakat setempat masih percaya dengan keyakinannya, Mbah Danu adalah dukun sakti penyembuh orang sakit. Setelah jatuh seorang korban akibat tidak percaya dengan obat yang dibawa dokter, barulah masyarakat setempat mengakui dan percaya dengan obat sebagai penyembuh orang sakit dan dokter sebagai sarananya.
  1. Kesimpulan
Cerpen “Mbah Danu” merupakan cerpen yang dikemas secara menarik dan imajinatif. Cerpen ini enak dibaca karena memiliki unsur humor, meskipun sangat sedikit. Isinya merupakan pencerminan masyarakat pada masa itu yang masih percaya pada hal yang berbau mistik. Dalam cerpen ini, Pengarang mampu mengangkat kenyataan yang sebenarnya telah terjadi sekarang. Pengarang juga memberikan alur yang sangat sederhana untuk dinikmati para pembacanya, yaitu alur maju. Sehingga pembaca tidak disulitkan untuk lama-lama berpikir memahami isi cerita ini.
Tapi, dalam cerpen ini masih banyak bahasa yang kurang baku, itu menyebabkan pembaca sulit untuk menelaah cerpen ini. Dan dalam cerpen ini pula Pengarang memakai sudut pandang diaan terbatas. Dimana Pengarang tidak menjelaskan secara detail apa yang dirasakan dan dipikirkan tokoh dalam cetita, Pengarang hanya menjelaskan secara luarnya saja, secara lintas saja. Itu menyebabkan pembaca kurang merasakan apa yang dialami benar-benar pada tokoh-tokoh dalam cerita ini dan pembaca kurang meresapi apabila pembaca menjadi salah seorang tokoh dalam cerita ini.
DAFTAR PUSTAKA
           
Tim Dimensi. 2006. Bahasa Indonesia. Jakarta: Swadaya Murni
DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai pustaka, edisi ke-2
Laelasari S. S., dan Nurlilah, S. S., Kamus Istilah Sastra, Bandung: Nuansa Aulia, 2006
Rosidi, Ajip. 1988. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Binacipta
Suryanto, Alex dan Haryanta, Agus. 2007. Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia. Tangerang: PT Gelora Aksara Pratama


[1] Tim Dimensi, Bahasa Indonesia, (Jakarta: Swadaya Murni, 2006), h. 39-41
[2] Ibid, h. 31
[3] Ibid, h. 31
[4] Laelasari, S.S. dan Nurlailah, S. S., Kamus Istilah Sastra, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), h. 148
[5] Tim Dimensi, Op. Cit., h. 36
[6] Ibid, h. 31
[7] DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), edisi ke-2, h. 1065
[8] Tim Dimensi, Op. Cit., h. 36
[9] Laelasari dan Nurlailah, op. cit., h. 105
[10] Tim Dimensi, Op. Cit., h. 36
[11] Ajip Rosidi, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta, 1988) h. 140-142

No comments: