Thursday 18 September 2014

BERAI

photograph by +Mabrur Huda 
Sungguh fase perceraian bukanlah titik akhir dari semua kegagalan dalam rumah tangga. Tidak ada seorang ibu yang ingin anaknya menderita karena memiliki ibu dan ayah yang terpisah. Kebanyakan ibu akan memikirkan berpuluh-puluh kali untuk meninggalkan ayah dari anak-anaknya. Sebiadab-biadabnya suami, istri harus mengikuti imam, namun jika imam sudah terbukti salah, keluarlah jadi makmum dari imam tersebut. Bagi istri bagaikan makan buah simalakama, antara mempertahankan rumah tangga yang sudah retak atau menyanding gelar "janda". Setegar dan sesabarnya sang istri, aku belum mengetahui berapa lama sakitnya luka dari secarik kertas cerai yang seharusnya ringan, akan tetapi sungguh memberatkan untuk melangkah ke depan. Bukan hanya yang mendapatkan, akan tetapi juga memberatkan bagi yang menyaksikan.

Hidup adalah buku pelajaran yang harus dipahami dan dimaknai, agar kelak nanti kejadian yang telah terjadi takkan terulangi. Mengapa air mata itu selalu membendungi? tersapu dan tak membekas sampai pipi. Harusnya aku yang menyeka, tapi kusamnya bahan terpakai cepat menyambar. Tahu tapi tidak ingin diketahui, lelah tapi masih ingin terjaga, marah tapi cinta. Ini penyaksian, perempuan memang merepotkan, dia adalah makhluk lemah, bahkan saat dilihat dari ketangguhannya mereka tetap mengeluarkan air mata. Jika luka terlalu tajam mencabik hati, dia bisa saja sampai mati.

Aku protes atas pemikiran berpuluh-puluh kali, karena aku bukanlah anak
Aku protes atas makmum dengan pilihan imam yang ternyata salah
Aku protes atas rotasi bumi yang berjalan begitu lama
Aku protes atas penantian, nanti dan nanti

#hanya ada "mantan istri", tidak ada "mantan ibu"


No comments: