Wednesday 5 June 2013

Historis Novel Ahmad Tohari

“Lingkar Tanah Lingkar Air”
Oleh Lieza Yanti

Bicara tentang sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, berarti kita bercermin ketika masa lampau. Dimulai dari pascakemerdekaan (postkolonial). Ketika itu.
Ahmad Tohari merupakan sastrawan dengan ciri khas kekomunikatifan dalam karyanya.
Dalam konsentrasi sastra di tanah air, Ahmad Tohari agaknya merupakan nama yang tidak asing lagi. Ahmad Tohari sebagai seorang sastrawan sudah lama dikenal. Kreativitas dan produktivitasnya dalam berkarya sungguh layak dikagumi. Puluhan novel, ratusan cerpen, dan berbagai tulisan genre nonfiksi sudah lahir dari tangannya. Sosok Ahmad Tohari sesungguhnya tak hanya menarik dibicarakan berdasarkan karya-karyanya, tetapi juga kesantunan dan kesederhanaan gaya hidupnya. Ia dikenal sangat alergi terhadap simbol-simbol feodalisme dan kapitalisme yang konon sudah demikian kuat membelit sendi-sendi kehidupan bangsa.
Ahmad Tohari lahir di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, pada 13 Juni 1948. Dalam karir kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan sembilan novel, dua kumpulan cerita pendek, dan tiga kumpulan artikel. Dia termasuk sastrawan yang cukup produktif. Ia pernah menerima hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1981 dan 1987; South East Asia Writes Award, Bangkok, tahun 1995; dan Penghargaan Bhakti Upapradana dari Pemerintah Propinsi untuk Pengembangan Seni Budaya tahun 1995. Di antara sekian banyak karyanya, barangkali trilogi Rogeng Dukuh Paruk, Lintang Kamukus Dini Hari, dan jantera Biang lala merupakan karya sastra yang paling kuat dan berbobot. Bahkan bisa di katakan trilogi tersebut merupakan karya sastra yang dahsyat dan bukan mustahil itulah salah satu Master Piece-nya. Dalam karya itu ahmad Tohari (mungkin) tidak berlebihan jika disejajarkan dengan ``raksasa sastra`` Indonesia yang beberapa kali dinominasikan sebagai penerima hadiah nobel sastra: Pramoedya Ananta Toer.
Trilogi Ahmad Tohari merupakan sketsa sosial dan antropologis yang kuat, yang di sana-sana diwarnai erotisme (Cinta) yang memukau. Tidak seperti sebagian besar karya sastra (juga film) Indonesia yang melodramatis dan happy ending, trilogi Ahmad Tohari merupakan tragedi (nasib) yang ``subversif``. Betapa tidak? Tokoh cerita itu, seorang ronggeng jelita dan memesona, yang citranya lugu dan tidak berdosa, harus menjadi korban dari budaya masyarakat yang patriarkis sekaligus seksis dan banal di satu sisi, serta menjadi korban dari konstruk (nalar) politik yang instrumental, otoriter, dan ideologis di sisi yang lain.
Triologi Ahmad Tohari agaknya merupakan karya yang memantulkan kengerian dan keabsurdan. Kita seperti ditarik, terbetot, dan tersedot dalam pusaran karya itu, untuk kemudian memancangkan gugatan: ``takdir memang (mengapa bukan “kadang”?) kejam, tak mengenal perasaan“, kadang juga tidak adil. Tidak mau jujur, kita lantas menjadi geram dan marah pada Sang Hidup (Tuhan?). “Sabda alam membuat kodrat tak tertahan. Rasa cinta, rasa nista berpadu satu”, disini batas antara fakta dan fiksi menjadi tipis. Mengapa? Soal banyak perempuan (atau secara umum: manusia), yang mengalami nasib semisal sang ronggeng, dalam berbagai variasi kasusnya. Dalam kontex itu semua maka ”pemberontakan” kaum eksistensialis dan semacamnya, sebagaimana telah (dan akan terus?) terjadi dalam sejarah, menemukan tempatnya.
Ciri khas karya (sastra) Ahmad Tohari terletak pada kekomunikatifanya. Dia bisa memamparkan suatu nilai dan dunia alternatif yang kreatif dan berbobot dengan bahasa yang sederhana, renyah, mengalir lancar dan mudah dicerna. Dalam karya Tohari, dengan demikian, batas antara yang “pop” dan yang “serius” menjadi tipis dan lumer. Jika banyak karya sastra yang serius (dan “bermutu”?) yang sulut dipahami oleh orang dengan cita rasa intelektual yang sederhana maka tidak demikian halnya dengan Ahmad Tohari. Mungkin itulah sebabnya, sebagian besar karya sastra Ahmad Tohari jika misalnya difilmkan atau didramakan, tentu akan menjadi sungguhan yang menarik untuk ditonton, dinikmati dan diapresiasi.
Salah satu nilai lebih Ahmad Tohari yang sulit ditemukan pada sastra lainya adalah kekuatannya melukiskan alam pedesaan yang eksotis dan perawan. Di tanganya, panorama kehidupan pedesaan menjadi sedemikian hidup dan menarik. Ahmad Tohari juga sangat kuat dalam menyuguhkan cinta dan erotisme. Di tanganya, cinta, seks, erotisme, perempuan, dan seterusnya menjadi sedemikian punya ruh dan menggairahkan. Kemampuan semisal dengan langgam dan modern dan metropolit juga dipunyai oleh dua sastrawan Indonesia lain separti: Seno Gumira Adjidarma dan Ayu Utami.
Karya Ahmad Tohari berjudul Lingkar tanah lingkar air, yang berkisah tentang pergulatan anak manusia di tengah gerak sejarah yang kalang kabut, carut-marut, dan kadang chaos. Disini gerak sosial, peristiwa, dan sejarah (juga nilai dan kesadaran) tak sepenuhnya bisa dianalisis, dicerna, dan dipetakan dengan baik. Seperti pada karya Ahmad Tohari sebelumnya para pelaku dalam novel ini terkurung dan terseret begitu saja dalam pusaran arus sejarah. Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, Seno Gumira Adjidarma memotret ironi dan tragis tentang tragedi kemanusiaan di Indonesia. (hal. IX) Novel ini merupakan sketsa sosial dan kesaksian sejarah yang mencekam, ketika kekuasaan yang militeristik menjadi sedemikian bengis dan kejam.
Historis Pertentangan Militer dan Organisasi Islam dalam Lingkar Tanah Lingkar Air
Bicara sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, tak dapat dipungkiri novel ini merupakan saksi sejarah pada zaman militeristik setelah kemerdekaan. Sebelum kita memotret jalan cerita novel ini, mari kita memotret sejarah militer Indonesia terlebih dahulu.
Militer Indonesia, sejak awal mula secara diam-diam menyimpan rasa kurang senang terhadap organisasi-organisasi Islam. Ketidaksenangan itu muncul semenjak tahun-tahun pertama berdirinya Republik Indonesia, dan mencapai puncaknya hingga ke tingkat permusuhan setelah pemerintahan militer resmi memegang tampuk kekuasaan tahun 1965. Sebagaimana terlihat dalam perkembangan yang mencapai puncaknya pada tahun 80-an, bahwa kemiliteran itu dibentuk untuk menopang kekuatan negara, dan selalu siap untuk menjalankan perannya sebagai kekuatan negara menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi-ideologi agama yang secara resmi diakui, yaitu Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Kondisi semacam ini terus berlangsung, sehingga jurang pemisah di antara militer dan organisasi-organisasi (gerakan) politik Islam semakin dalam.
Sejak awal dibentuknya kekuatan militer Indonesia, hanya penduduk pulau Jawa sajalah yang berperan mengendalikan dan mengontrol tentara, khususnya dalam pembinaan karakter maupun kultur (tsaqafah)nya. Suku Jawa selamanya menduduki posisi-posisi penting dan strategis sejak lahirnya gerakan kebangsaan di Indonesia, sehingga mereka berhasil menguasai setiap bagian dari kehidupan bangsa, dan merambah ke suku-suku lain di luar Jawa yang pada umumnya lebih kuat berpegang kepada ajaran Islam dibandingkan dengan mereka yang ada di pulau Jawa. Perkembangan politik selanjutnya menunjukkan, bahwa apa yang terjadi diantara kelompok militer dan organisasi-organisasi Islam telah merambah masuk hingga ke persoalan-persoalan asasi di dalam tubuh masyarakat Jawa yang memiliki dua pola kultur berbeda: Yaitu, pertama golongan santri, mereka adalah muslim yang taat pada agama. Dan kedua, golongan abangan, adalah mereka yang secara formal mengaku muslim tetapi dalam praktiknya tetap setia berpegang teguh kepada filsafat dan kebudayaan Jawa sebelum Islam.
“Artinya, selam adalah sebutan untuk semua orang yang tinggal dari Aceh sampai Sunda kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dulu di mata orang asing, juga dalam perasaan kita semua, selam dan tanah air adalah dua sisi dari satu mata uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau yang tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan juga wong dul-dulan, sama-sama merasa sebagai orang selam. Mereka bersaksi bahwa gusti Allah adalah tuhan yang Esa, dan kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong Royong. Jadi, aku tak paham mengapa si Suyud kini tak mau bergabung dengan tentara resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang.” (hal 48-49)
Dari kutipan Novel Lingkar Tanah Lingkar Air diatas telah dijelaskan bahwa sebenarnya golongan santri dan abangan adalah sama, satu tanah Air. Tetapi karena keegoisan masing-masing pihak, mereka sendirilah yang memecahbelahkan tanah airnya.
Dalam rentang waktu antara 1945-1949, merupakan masa-masa penuh gejolak dengan terjadinya dua kali peperangan, yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial Belanda guna mengembalikan kekuasaannya dan menghancurkan Repubik Indonesia yang baru lahir. Pada masa-masa ini kita menyaksikan berbagai konfrontasi terbuka antara kelompok-kelompok bersenjata Indonesia dan kesatuan-kesatuan pejuang bersenjata Islam. Pembentukan tentara nasional pada tahun 1945, cikal bakalnya diambil dari pasukan yang dilatih oleh Jepang. Dan di antara anggotanya adalah seorang yang pernah menjadi kepala negara Indonesia, yaitu Soeharto. Tentara ini dibentuk pada masa pendudukan Jepang, dari tahun 1942-1945 yang disebut dengan PETA (Pembela Tanah Air), yaitu kesatuan-kesatuan Jepang yang dilatih untuk membela ibu pertiwi. Namun PETA bukanlah satu-satunya tentara yang berjuang membela negara. Di luar kelompok tentara tersebut, terdapat banyak kesatuan milisi diantaranya milisi Hizbullah, kelompok yang dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hingga mereka berhasil merebut kekuasaan dan memindahkannya ke tangan putra-putra Indonesia tahun 1949.
Pada tahun 1947 seluruh kesatuan militer yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditarik mundur, sebagai realisasi atas persetujuan yang telah disepakati oleh tentara Indonesia dan pihak Belanda pada tahun itu juga. Namun pasukan Hizbullah tetap pada pendiriannya, dan menolak untuk meninggalkan wilayah yang telah dikuasainya itu serta bertekad melakukan perang gerilia. Bukan itu saja, pasukan republik yang tidak menarik diri itu, bahkan berubah nama menjadi Darul Islam (DI) dan menyebut sayap militernya sebagai Tentara Islam Indonesia (TII). Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air dijelaskan:
“Soal persamaannya kalian sudah tahu,” ujar Kiai Ngumar. “Tentara Republik dan Hizbullah sama-sama pasukan bersenjata yang berjuang melawan tentara belanda untuk mempertahankan kemerdekaan kita.”
“Dan Perbedaannya?” aku bertanya.
“Bedanya?” ujar Kiai Ngumar. “Begini. Meskipun sama-sama bertempur melawan beland, ada perbedaan yang cukup mendasar antara tentara Republik dan Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi. Artinya, mereka adalah bagian sah Republik. Maka, selama Republik berdiri mereka mutlak diperlukan kehadirannya. Republik pun wajib memberi mereka gaji, setidaknya kelak bila negeri sudah normal. Lalu apa Hizbullah?”
Kiai Ngumar memberi jeda, mungkin agar ada kesempatan bagi kami untuk memahami penjelasan yang telah diucapkannya.
“Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar niatnya lillahi ta’ala, ikhlas, tujuannya melaksanakan wajib memerangi kafir yang membuat kerusakan di negeri ini seperti sudah difatwakan Hadratus Syaikh. Dan tidak seperti tentara resmi, Hizbullah tidak dibentuk oleh pemerintah. Mereka lahir karena kesertamertaan para ulama. Karena niatnya lillahi ta’ala, anak-anak Hizbullah tidak akan menerima gaji dan ku kira harus membubarkan diri setelah keadaan aman. Itulah, maka tadi aku bertanya apakah tidak lebih baik kalian bergabung dengan tentara resmi?” (hal. 43-44)
Pada awal tahun 1949, sesudah ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, pasukan Republik kembali ke Jawa Barat dalam keadaan kocar kacir, sementara itu mereka menghadapi perlawanan keras dari TII di bawah komando Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Darul Islam menolak tunduk terhadap usaha-usaha tentara untuk mengembalikan kekuasaan republik atas daerah Jawa Barat (yang pernah ditinggalkannya). Sebaliknya mereka memproklamasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang menikmati hak-hak otonomi secara rasional.
Ketika Belanda telah menyerahkan diri, dan ketika keadaan aman pada awal tahun 1960-an, ketika tentara Indonesia berhasil menumpas gerakan Darul Islam, sejak saat itu nama SM. Kartosuwiryo beserta orang-orang yang bergabung dalam gerakan melawan republik, di dalam sejarah kemudian disebut sebagai kelompok pengkhianat dan pemberontak negara. Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, ketika itu pasukan Hizbullah ingin melebur ke dalam tentara Republik dan berhimpun di suatu tempat di tepi rel kereta api. Tetapi tiba-tiba pasukan republik mendapat serangan mendadak.
Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu. Di sana terjadi perbincangan, atau perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka yang menyerang kami. Ada yang percaya pasukan Republik tak mungkin punya perilaku sekotor itu. Menurut pendapat ini, para penyerang memang oknum-oknum yang berasal dari kalangan pasukan Republik, namun mereka bekerja untuk golongan tertentu. Mereka adalah pengkhianat yang mencatutu nama pasukan Republik dan tidak suka terhadap masuknya anak bekas Hizbullah kedalam pasukan Pemerintah. Pendapat ini sebenarnya gamblang dan mengarah kepada oknum-oknum komunis. Semua orang mengetahui bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi makar Madiun pada tahun 1948, belum sempat dilaksanakan secara intensif. (HAL.77-78)
Jelas waktu itu pasukan Republiklah yang menyerang Hizbullah dikarenakan mereka tidak mau melebur ke dalam pasukan republik. Tetapi kalau kita membaca kesaksian sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, mereka sebenarnya ingin melebur ke dalam pasukan republik, tapi saat mereka ingin melebur pasukan republik sudah lebih dulu menyerangnya sehingga pasukan Hizbullah menyimpan dendam terhadap pasukan republik.
Dan sampai sekarang gerakan Darul Islam tetap dicap sebagai perusak negara dan penyeleweng ideologi negara. Akibat begitu banyaknya bentrokan-bentrokan yang terjadi dengan kaum muslimin diberbagai daerah Republik Indonesia sehingga menyebabkan peperangan yang panjang. Peristiwa ini sangat membekas di dalam hati perwira-perwira tinggi, dan menumbuhkan rasa permusuhan yang mendalam terhadap para pejuang muslim, sehingga muncul kepercayaan, bahwa mereka harus memperlakukan para pejuang muslim secara otoriter. Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, kasusnya sama. Saat itu ada berita di seberang Citandui bahwa Kartosuwiryo dan kawan-kawan bermaksud membangun sebuah negara Islam. Saat itu Amid (sebagai tokoh utama) ingin gabung dengan tentara republik atas usulan kiai Ngumar (guru silat dan ilmu agama Amid). Akan tetapi Kang Suyud (orang tertua) dalam kelompok perlawanan menolak untuk bergabung atas dasar bahwa republik terdiri juga dari orang-orang yang tidak sembahyang.
“Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan negara Islam.”
“Sabarlah, Suyud. Aku ingin kembali mengingatkanmu akan kandungan kitab. Di sana disebutkan hanya ada satu kekuasaan yang sah dalam suatu negara. Dengan kata lain, bila Republik sudah diakui sebagai kekuasaan yang sah, lainnya otomatis menjadi tidak sah” (hal. 71)
Nasehat yang keluar dari mulut Kiai Ngumar sepertinya tidak dipedulikan Suyud. Kiram dan Jun juga tidak memiliki Ijazah sekolah Rakyat maka ia tidak akan bisa untuk masuk sebagai tentara Republik dikarenakan buta huruf. Sejarah mengatakan, bahwa persyaratan pada saat itu minimal tentara Republik harus memiliki ijazah. Mereka dikatakan SDM yang siap pakai untuk pertahanan pemerintahan dan akan menerima gaji setelah keadaan negara kembali normal. Amid yang awalnya ingin bergabung dengan tentara republik punah juga harapannya ketika kedua temannya geram dengan keputusannya. Kiram yang memojokkan Amid dengan alasan kalau bukan karenanya memberikan senjata kepadaAmid, sampai saat ini pun ia tetap menjadi anak bawang (pembantu para tentara). Dan dengan alasan itu pula Amid meninggalkan Kiai Ngumar dan pergi bersama Kang Suyud dan temannya. Mulai saat itulah mereka menjadi manusia yang selama berpuluh-puluh tahun tinggal di hutan karena dianggap sebagai pemberontak oleh pasukan Republik.
Akhir Juni 1962 seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Toyib, rekan itu, telah menempuh perjalanan berbahaya untuk memberi kabar tentang sesuatu yang amat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam tertangkap pasukan Republik. Toyib juga membawa sehelai selebaran yang ditandatangani oleh khalifah, berisi seruan agar semua anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri kepada aparat keamanan dengan jaminan pengampunan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. (hal. 139)
Dari berita di atas, dalam Lingkar Tanah Lingkar Air semua pasukan DI/TII diharapkan meletakkan senjata  dengan jaminan pengampunan dari tentara Republik. Akhirnya semua pasukan Republik meletakkan senjata. Ada beberapa dari mreka yang ikut bertempur melawan pasukan GS (Gerakan Siluman).
Cerita Kiram tentang orang-orang GS, Gerakan Siluman, memang sudah lama menjadi kesadaran umum di kalangan kami. Banyak perangkat pamong di desa-desa pinggiran hutan atau perkebunan karet diam-diam atau terang-terangan menjadi anggota gerakan rahasia ini. Mereka jelas-jelas komunis. Dan celakanya mereka sangat mudah memperoleh senjata karena mereka juga merekrut banyak oknum OPR, organisasi yang resmi dipersenjatai dan dibangun sebagai barisan pertahanan sipil. Selain mempunyai kekuatan bersenjata, mereka mempunyai kekuatan jalur usaha perekonomian, yakni perdagangan kayu jati secara gelap. Mereka mengorganisasikan banyak sekali pencuri kayu jati sehingga beberapa pemimpin mereka, yang kami kenal menjadi pamong desa, adalah orang-orang yang sangat kaya.
            Pertempuran itu hanya terdapat dua hal pada pasukan GS, yaitu menembak atau tertembak. Sebelum mereka tertembak, mereka juga ingin menembak pasukan Republik. Dari pertempuran itu, pasukan Republik banyak menewaskan pasukan GS. Ternyata selama berpuluh tahun telah terjadi kekeliruan terhadap pandangan pasukan Republik dengan pasukan Hizbullah. Dan sampai sekarang, pasukan Republik-lah yang berkuasa.
Simpulan
            Republik sebagai pasukan kesatuan Indonesia ternyata banyak mengalami perpecahan. Potret sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air dapat memperlihatkan secara rinci dan jelas, apa yang terjadi dahulu dengan tentara militer kita. Dari sebelum terjadi kemerdekaan sampai setelah kemerdekaan, Lingkar Tanah Lingkar Air menjadi saksi kemiliteran Indonesia pada saat itu. Begitu kejamnya militeristik pasca-kemerdekaan.
            Pada tahun 1950 keadaan yang sebenarnya memang demikian rentan. Yang namanya jati diri atau tali kesatuan bangsa mestinya dalam taraf pembentukan. Masyarakat masih rentan sehingga mudah ditinggalkan orang atau bahkan terpental dari barisan kesatuan. Itulah yang terjadi pada Amid, tokoh utama yang gugur ketika berjuang melawan gerakan siluman (orang-orang komunis) bersama tentara republik yang sebelumnya menjadi musuhnya. Ketika cita-citanya dahulu yang belum sempat terwujud, dan terwujud dalam satu hari, yaitu hari kematiannya. Ia mati syahid dalam keadaan menjadi tentara Republik.
Daftar Pustaka
Rosidi, Ajip. 1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Foulcher, Keith dan Tony Day (ed.). 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Iskandar, Yoseph., dkk. 1997. Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946. Bandung: Sukardi.
Zara, Yuanda. 2009. Peristiwa 3 Juli 1946. Jakarta: Media Pressindo.

No comments: