Wednesday 28 December 2011

Alih Kode dan Campur Kode

1. Alih Kode
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dari pendapat Appel dan Hymes di atas jelas bagi kita bahwa pengalihan dari ragam santai ke ragam resmi ataupun sebaliknya berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi tidak formal ataupun sebaliknya adalah tercakup dalam peristiwa yang disebut dengan alih kode.
Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan. Contoh alih kode yang dilakukan Lieza dengan Yanti di bawah ini.
Latar belakang : perumahan RSS di Bogor
Para pembicara : Lieza, Yanti, Bu RT yang hanya bisa berbahasa Jawa
Topik  : air keran tidak keluar
Sebab alih kode: adanya orang ketiga (Bu RT) dalam peristiwa tutur
Peristiwa tutur :
Lieza  : aduh mbak Yanti, air keran saya tidak keluar, belum solat lagi.
Yanti  : sama, di sini juga tidak keluar.
Bu RT  : ono opo iki.
Lieza  : iki bu, banyu kerane orak metu, Yanti podo.
Bu RT  : Oh, mesine lagi di dandake awet mau iso.
Terlihat di situ, begitu pembicaraan ditujukan kepada bu RT alih kode pun langsung dilakukan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Status orang ketiga dalam alih kode juga menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan. Contoh lain yang menyebabkan terjadinya alih kode karena perubahan situasi bicara.
Latar belakang    : Di kantor
Para pembicara   : sekertaris dan direktur
Topik                    : Pak Narayan
Sebab alih kode  : perubahan situasi dari formal menjadi tidak formal
Peristiwa tutur     :
Sekertaris           :  maaf pak, tadi Pak Narayan datang saat bapak sedang ada di luar. Beliau menitipkan proposal ini untuk bapak pelajari selengkapnya dan secepatnya hubungi beliau untuk kepastiannya.
Direktur                : ya, terimakasih. Pak Narayan iku kerjonyo yo atos.
Sekertaris             : nampake seko dandane sing sederhono karo ora gelem harto.
Percakapan itu dimulai dalam bahasa Indonesia karena tempatnya di kantor, dan yang dibicarakan adalah tentang proposal. Namun, begitu yang dibicarakan bukan lagi tentang proposal, melainkan pribadi orang yang mengirimkan proposal, sehingga situasi berubah menjadi tidak formal, terjadilah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
2. Campur Kode
Thelander (1976; 103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu pristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Sedangkan Fashold (1984) menawarkan criteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia telah mencampurkan kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tawaran Fasold (1984) yang sejalan dengan pendapat Theander (1976) tampaknya memang merupakan jalan terbaik sampai saat ini untuk membicarakan peristiwa campur kode dan alih kode. Keduanya sukar dicari perbedaan yang pasti, yang pasti alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu dan dilakukan dengan sadar, sedangkan campur kode adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang mungkin memang diperlukan.
Dalam campur kode ragam bahasa nonformal digunakan pada situasi formal. Kiranya hal ini berkenaan dengan tingkat kemampuan berbahasa si penutur. Contohnya percakapan antara Inggrid yang asli orang cina dan Meti yang asli orang Indonesia.
Latar belakang        : Di kantor
Para pembicara       : Inggrid dan Meti
Topik                       : pemasangan iklan
Sebab campur kode  : penguasaan bahasa Indonesia Inggrid yang masih minim.
Peristiwa tutur        : 
Meti                         : Inggrid, Iklan Shampo seharusnya ada di halaman berapa ya?
Inggrid                     : di baban a! di halaman yang lain sudah penuh.
Meti                          : Baik, kalau begitu kamu beri tahu karyawan baru itu segera ya.
Inggrid                      : Hao! Nanti saya beri tahu.
Kedua partisipan itu sudah akrab. Hal itu tampak dari pemahaman Meti dari bahasa yang digunakan oleh Inggrid. Ini tidak menyalai aturan yang ada karena Inggrid menggunakan serpihan bahasa Cina yang dianggapnya perlu untuk menggantikan bahasa Indonesia yang belum ia kuasai.

No comments: