Wednesday 28 December 2011

Analisis Stilistika

Aku
Karya: Chairil Anwar

Kalau sampai waktukku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


Sajak ini adalah sajak yang termashur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang membersit-bersit dan individualis. Ia beri judul “Aku” (ditempat lain diberinya berjudul ‘semangat’). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai “binatang jalang” , sebutan mana segera menjadi terkenal.

Pada puisi di atas Chairil telah berhasil melepaskan diri dari ikatan banyaknya baris dalam setiap bait. Akan tetapi dalam masalah rima akhir ia masih belum sepenuhnya membebaskan diri dari konvensi tersebut. Bahkan pada bait-bait puisinya berikut ini tampak ia masih setia baik pada banyaknya baris setiap bait maupun pada rima akhir.

1. Dari segi bahasa
Dalam baris pertama, ia memperlihatkan kepada pembacanya bahwa ia dapat mengatasi dirinya sendiri, ia tidak mau orang lain mengetahui penyakitnya dan membawa kesedihan bagi mereka. Ia juga tidak ingin dikasihani orang lain, maka pada larik pertama ia berpesan, jika sampai nanti ajalnya tiba ia tidak mau seorangpun menyesali kepergiannya, apalagi dengan cucuran air mata. Menurutnya cucuran air mata itu tidak perlu dikeluarkan untuk dirinya.
Dalam baris-baris itu dia membandingkan dirinya dengan binatang jalang yang terbuang.
Aku ini binatang jalang yang terbuang
Dari kumpulan yang terbuang
Sebuah sanjak yang di satu pihak menyatakan rasa sepih yang pedih, kesunyian dan masa depan yang tak terjamin – tidak ada sama sekali harapan untuk kedamaian malah pada sedu-sedan, tetapi dipihak lain pula rasa gairah terhadap hidup yang tertindas.
Pada larik di bawah ini,
Aku mau hidup 100 tahun lagi
dari segi badania, dia tidak dianugerahi seribu tahun itu, malah sepuluh tahunpun tidak. Ia menginginkan hidup yang panjang, tetapi sang illahi berkata lain, ia harus menerima takdirnya.
Terlihat dari tiap kata yang dituturkan pengarang, karya ini memberikan pesan yang sangat tersirat, sehingga kita sebagai pembaca harus pintar-pintar membaca pesan tersebut jika ingin mengenahuinya. Selain persoalan bahasa, puisi Chairil Anwar juga sangat memainkan persoalan rima.

2. Dari segi bunyi
Semua kombinasi bunyi yang berupa perulangan bunyi yang berturut-turut: asonansi, aliterasi, dan pola sajak akhir menimbulkan bunyi musik dalam sajak itu disebut orkestrasi. Perhatikan orkestrasi dalam bait pertama, kombinasi bunyi pola sajak akhir dengan bunyi u - u itu menimbulkan rasa liris, rasa sedih yang kuat dan keputusasaan.
Bunyi ‘ang’ pada rima akhir,
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
menunjukkan bahwa dirinya ingin orang lain mengetahui, inilah Chairil Anwar yang sedang bertempur dengan penyakit yang memasuki tubuhnya. Supaya orang lain tahu bahwa ia tidak begitu saja menerima penyakitnya, tetapi telah berusaha sendiri untuk melawan penyakitnya. Tetapi ia tahu bahwa sang illahi berkehendak lain, Chairil Anwar akan pergi sebentar lagi.
Begitu pula pada lirik di bawah ini,
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
turutan vokal e – i pada sajak tersebut, dengan hebat sekali menggambarkan kerawanan, dan keruntuhan hidup, sebagaimana yang dinyatakan oleh kata-kata itu.

No comments: